Senin, 12 Mei 2008

istilah dalam k3

Pihak commisioning:
Seorang yang secara fisik atau legal memberikan pekerjaan berdasarkan suatu kontrak untuk jasa melalui suatu kontraktor atau seorang berusaha mandiri.

Otoritas yang kompeten:
Seorang menteri, departemen pemerintah, atau pejabat publik lain yang mempunyai kekuasaan untuk mengeluarkan peraturan, perintah atau instruksi lain yang mempunyai kekuatan hukum.

Orang yang kompeten:
Seseorang yang memiliki kualifikasi cukup, seperti pelatihan yang sesuai dan pengetahuan cukup,berpengalaman dan trampil untuk melakukan pekerjaan spesifik dengan selamat. Otoritas yang kompeten dapat menetapkan kriteria-kriteria yang sesuai untuk penunjukan orang-orang seperti itu dan dapat menentukan tugas-tugas yang diberikan kepadanya.

Kontraktor:
Seseorang atau perusahaan yang biasa melaksanakan operasi kehutanan terhadap spesifikasi yang diberikan dengan biaya yang ditetapkan sebelumnya berdasar syarat-syarat dari suatu kontrak untuk pelayanan, tetapi bukan di bawah suatu kontrak pemberian kerja. Dalam kode ini kontraktor meliputi sub kontraktor.

Kejadian berbahaya:
Peristiwa yang telah diidentifikasi seperti yang ditentukan di dalam hukum dan peraturan nasional, dengan potensi menyebabkan kecelakaan atau penyakit terhadap orang-orang di tempat kerja atau masyarakat umum.

Pengusaha:
(i) Setiap orang yang secara fisik atau legal mempekerjakan satu atau lebih pekerja dalam pekerjaan kehutanan, dan (ii) menurut keperluan konteks, kontraktor utama, kontraktor atau sub kontraktor.

Perusahaan:
Suatu unit kelembagaan - atau kombinasi terkecil dari unit-unit kelembagaan yang melindungi dan mengendalikan secara langsung atau tidak langsung semua fungsi-fungsi yang diperlukan untukmelaksanakan kegiatan produksi sendiri.

Tempat kerja kehutanan:
Setiap tempat di mana kegiatan kehutanan dilaksanakan.

Cuaca buruk:
Suatu kondisi yang disebabkan oleh cuaca kurang baik seperti hujan lebat, angin kuat, salju dan/atau es atau badai dengan petir yang bisa menimbulkan kecelakaan atau gangguan kesehatan yang akut,kecuali jika pekerjaan dihentikan.

Insiden:
Suatu kejadian tak aman yang timbul oleh atau selama dalam pekerjaan di mana tidak terdapat lukaluka pribadi, atau di mana luka-luka pribadi hanya memerlukan perawatan PPPK.

Pengawasan ketenaga-kerjaan:
Pemeriksaan berkala dan terstruktur dalam suatu tempat kerja oleh seseorang dengan pengetahuan khusus tentang operasi kehutanan dan syarat-syarat yang wajib dan tidak wajib tentang keselamatan dan kesehatan kerja.

Manajer:
Seseorang yang ditunjuk dan secara hukum bertanggung jawab untuk pengarahan manajemen dan teknis dari semua atau sebagian perusahaan kehutanan.

Pemberitahuan:
Suatu prosedur, yang dijelaskan dalam hukum dan peraturan nasional, untuk penetapan cara yang mana:
(a) pengusaha atau seorang berusaha mandiri menyampaikan informasi mengenai kecelakaan
kerja, kecelakaan selama perjalanan pulang pergi, peristiwa atau kejadian berbahaya; atau
(b) pengusaha, seorang berusaha mandiri, atau pihak lainnya yang secara langsung terkait dalam
menyampaikan informasi penyakit akibat kerja; yang sesuai dan seperti ditentukan oleh otoritas
yang kompeten.

Kecelakaan kerja:
Suatu kejadian yang timbul akibat atau selama pekerjaan yang mengakibatkan:
(a) kecelakaan kerja yang fatal;
(b) kecelakaan kerja yang tidak fatal.

Penyakit akibat kerja:
Suatu penyakit yang didapat sebagai akibat suatu pemajanan terhadap faktor resiko yang timbul dari kegiatan pekerjaan.

Pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja:
Pelayanan yang dipercayakan dengan fungsi utamanya pencegahan dan bertanggung jawab untuk memberikan saran kepada pengusaha, para pekerja dan perwakilan mereka dalam perusahaan mengenai :
(a) syarat-syarat untuk membangun dan memelihara suatu lingkungan kerja yang sehat dan aman bagi kesehatan fisik dan mental yang optimal dalam hubungan dengan pekerjaan;
(b) penyesuaian pekerjaan terhadap kemampuan para pekerja ditinjau dari keadaan kesehatan fisik dan mental.

Pencatatan:
Suatu prosedur, yang ditetapkan di dalam hukum dan peraturan nasional, untuk memastikan bahwa pengusaha atau orang berusaha mandiri memelihara informasi mengenai:
(a) kecelakaan dan penyakit akibat kerja:
(b) kecelakaan selama perjalanan pulang-pergi: dan
(c) peristiwa dan kejadian berbahaya.

Pelaporan:
Suatu prosedur, yang ditetapkan oleh pengusaha sesuai dengan hukum dan peraturan nasional dan praktek di perusahaan, agar para pekerja melaporkan kepada penyelia mereka, orang yang
berkompeten, atau badan lain yang ditetapkan, tentang informasi mengenai:
(a) setiap kecelakaan kerja atau gangguan kesehatan yang muncul selama melakukan atau dalam
hubungan dengan pekerjaan:
(b) kasus yang diduga penyakit akibat kerja:
(c) kecelakaan selama perjalanan pulang-pergi: dan
(d) peristiwa dan kejadian berbahaya.

Resiko:
Suatu hasil dari kesempatan , bahwa suatu peristiwa tidak diinginkan mungkin terjadi, dan keparahan dari akibat peristiwa itu.

Panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja:
Suatu panitia yang dibentuk untuk memberi saran tentang keselamatan dan kesehatan kerja.
Komposisi panitia tersebut meliputi wakil pengusaha dan wakil pekerja

Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja:
Aspek-aspek dari keseluruhan fungsi manajemen yang mengembangkan, menerapkan dan
memelihara kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja perusahaan.

Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja:
Struktur, tanggung-jawab, praktek, dan prosedur sumber daya perusahaan untuk menerapkan
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.

Kriteria penyaringan:
Nilai-nilai atau syarat-syarat terhadap kemaknaan dari potensi bahaya yang telah diidentifikasi dapat diukur. Hal-hal tersebut harus didasarkan pada informasi ilmiah dan teknis yang kuat dan mungkin dikembangkan oleh industri dan perusahaan atau badan tripartit, atau yang disediakan oleh regulator.

Penyelia:
Seseorang yang bertanggung jawab untuk perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian dari suatu operasi kehutanan sehari-hari.

Jam kerja mingguan:
Waktu kerja - yang bisa meliputi waktu perjalanan pulang-pergi ke dan dari tempat kerja, sesuai
dengan peraturan perundangan nasional.

Pekerja:
Dalam konteks kode ini, setiap orang yang bekerja dalam sector kehutanan.

Ganti-Rugi pekerja:
Pembayaran ganti-rugi kepada para pekerja atau keluarganya dalam keadaan tidak mampu bekerja sementara atau tetap akibat suatu kecelakaan atau penyakit akibat kerja yang diderita pada atau dalam hubungan dengan pekerjaan.

Wakil pekerja:
Orang-orang yang diakui dalam hukum atau praktek nasional, menurut Konvensi Wakil Pekerja 1971 (Nomor 135).

Tempat kerja:
Semua tempat dimana para pekerja diperlukan hadir untuk alasan pekerjaan mereka dan yang berada dibawah pengendalian pengusaha.

Rabu, 23 April 2008

lingkungan kerja ahli k3

Keselamatan kerja di laboratorium


Pendahuluan

Laboratorium adalah suatu tempat dimana mahasiswa, dosen, peneliti dsb melakukan percobaan. Percobaan yang dilakukan menggunakan berbagai bahan kimia, peralatan gelas dan instrumentasi khusus yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan bila dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Kecelakaan itu dapat juga terjadi karena kelalaian atau kecerobohan kerja, ini dapat membuat orang tersebut cedera, dan bahkan bagi orang disekitarnya. Keselamatan kerja di laboratorium merupakan dambaan bagi setiap individu yang sadar akan kepentingan kesehatan, keamanan dan kenyamanan kerja. Bekerja dengan selamat dan aman berarti menurunkan resiko kecelakaan. Walaupun petunjuk keselamatan kerja sudah tertulis dalam setiap penuntun praktikum, namun hal ini perlu dijelaskan berulang-ulang agar setiap individu lebih meningkatkan kewaspadaan ketika bekerja di laboratorium.

Berbagai peristiwa yang pernah terjadi perlu dicatat sebagai latar belakang pentingnya bekerja dengan aman di laboratorium. Sumber bahaya terbesar berasal dari bahan-bahan kimia, oleh sebab itu diperlukan pemahaman mengenai jenis bahan kimia agar yang bekerja dengan bahan-bahan tersebut dapatlebih berhati-hati dan yang lebih penting lagi tahu cara menanggulanginya. Limbah bahan kimia sisa percobaan harus dibuang dengan cara yang tepat agar tidak menyebabkan polusi pada lingkungan. Cara menggunakan peralatan umum dan berbagai petunjuk praktis juga dibahas secara singkat untuk mengurangi kecelakaan yang mungkin terjadi ketika bekerja di Laboratorium. Dengan pengetahuan singkat tersebut diharapkan setiap individu khususnya para asisten dapat bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan kerja mahasiswa di laboratorium dengan sebaik-baiknya.

Latar belakang

Beberapa peristiwa yang pernah terjadi di laboratorium dapat merupakan cermin bagi setiap orang untuk meningkatkan kewaspadaannya ketika bekerja di laboratorium. Peristiwa-peristiwa tersebut kadang-kadang terlalu pahit untuk dikenang, namun meninggalkan kesan pendidikan yang baik, agar tidak melakukan kesalahan dua kali pada peristiwa yang sama. Peristiwa terbesar dalam sejarah Departemen Kimia adalah kejadian 27 tahun yang lalu, ketika itu Gedung Departemen terbakar pada malam menjelang pagi hari, itu terjadi karena ada bahan kimia yang meledak di gedung tersebut. Walaupun tidak terdapat korban manusia, namun kerugian materi sangat banyak dan mahasiswa agak ”terhambat” melakukan proses pendidikan karena diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk dapat memenuhi keperluan fasilitas yang terbakar. Peristiwa lainnya tidak sehebat yang terjadi di atas, namun perlu perhatian khusus agar dikemudian hari jangan sampai terjadi lagi. Peristiwa itu menimpa salah seorang mantan mahasiswa kimia yang bekerja dengan brom, bahan ini mengalir dari peralatan yang kurang rapat, menyentuh kulit lengannya, akibatnya terjadi luka bakar dan bekasnya tidak hilang sampai sekarang. Ada pula yang terkena bahan kimia TCA ketika mengambil zat tersebut dari botol kemasannya, karena kurang hati-hati ada bahan yang terkena kulit tangan mahasiswa dan ini menimbulkan iritasi yang hebat, gejalanya kulit terasa gatal dan karena digaruk dapat melepuh. Kejadian berikutnya adalah ketika mahasiswa tahun pertama bekerja menggunakan pembakar dengan bahan bakar spiritus, pembakar tersebut tersenggol sehingga spiritus tersebut tumpah ke meja praktikum dan menyebabkan kebakaran serta merusak meja praktikum. Kebakaran juga pernah terjadi karena terlepasnya selang penyambung pembakar bunsen dari saluran gas bakar, ini disebabkan oleh mahasiswa yang menarik pembakar itu ke berbagai tempat. Ada pula kecerobohan kerja yang menyebabkan asam sulfat pekat tumpah di atas meja praktikum. Asam tersebut dapat menghanguskan kayu sehingga meja praktikum berubah menjadi hitam dan rapuh. Kelalaian lainnya disebabkan oleh kurang disiplin, seperti lupa menutup kran air, sehingga terjadi banjir sampai ke laboratorium lainnya. Semua peristiwa tersebut tidak akan terjadi bila setiap individu sadar dan mengerti bahwa laboratorium itu milik bersama yang harus dijaga dengan meningkatkan disiplin.

Bahan kimia

Setiap bahan kimia itu berbahaya, namun tidak perlu merasa takut bekerja dengan bahan kimia bila tahu cara yang tepat untuk menanggulanginya. Yang dimaksud berbahaya ialah dapat menyebabkan terjadinya kebakaran, mengganggu kesehatan, menyebabkan sakit atau luka, merusak, menyebabkan korosi dsb. Jenis bahan kimia berbahaya dapat diketahui dari label yang tertera pada kemasannya.

Dari data tersebut, tingkat bahaya bahan kimia dapat diketahui dan upaya penanggulangannya harus dilakukan bagi mereka yang menggunakan bahan-bahan tersebut. Kadang-kadang terdapat dua atau tiga tanda bahaya pada satu jenis bahan kimia, itu berarti kewaspadaan orang yang bekerja dengan bahan tersebut harus lebih ditingkatkan. Contoh bahan kimia yang mudah meledak adalah kelompok bahan oksidator seperti perklorat, permanganat, nitrat dsb. Bahan-bahan ini bila bereaksi dengan bahan organik dapat menghasilkan ledakan. Logam alkali seperti natrium, mudah bereaksi dengan air menghasilkan reaksi yang disertai dengan api dan ledakan. Gas metana, pelarut organik seperti eter, dan padatan anorganik seperti belerang dan fosfor mudah terbakar, maka ketika menggunakan bahan-bahan tersebut, hendaknya dijauhkan dari api. Bahan kimia seperti senyawa sianida, mercuri dan arsen merupakan racun kuat, harap bahan-bahan tersebut tidak terisap atau tertelan ke dalam tubuh. Asam-asam anorganik bersifat oksidator dan menyebabkan peristiwa korosi, maka hindarilah jangan sampai asam tersebut tumpah ke permukaan dari besi atau kayu. Memang penggunaan bahan-bahan tersebut di laboratorium pendidikan Kima tidak berjumlah banyak, namun kewaspadaan menggunakan bahan tersebut perlu tetap dijaga.

Peralatan dan cara kerja

Selain bahan kimia, peralatan laboratorium juga dapat mendatangkan bahaya bila cara menggunakannya tidak tepat. Contoh sederhana yaitu cara memegang botol reagen, label pada botol tersebut harus dilindungi dengan tangan, karena label bahan tersebut mudah rusak kena cairan yang keluar dari botol ketika memindahkan isi botol tersebut. Banyak peralatan laboratorium terbuat dari gelas, bahan gelas tersebut mudah pecah dan pecahannya dapat melukai tubuh. Khususnya bila memasukkan pipa gelas kedalam prop-karet, harus digunakan sarung tangan untuk melindungi tangan dari pecahan kaca. Pada proses pemanasan suatu larutan, harus digunakan batu didih untuk mencegah terjadinya proses lewat didih yang menyebabkan larutan panas itu muncrat kemana-mana. Juga ketika menggunakan pembakar spiritus atau pembakar bunsen, hati-hati karena spiritus mudah terbakar, jadi jangan sampai tumpah ke atas meja dan selang penyambung aliran gas pada bunsen harus terikat kuat, jangan sampai lepas.

Langkah-langkah praktis

Sebagai asisten di laboratorium, yang bertugas membimbing mahasiswa untuk bekerja dengan baik dan aman, maka perlu persiapan sebelum bekerja. Asisten perlu datang lebih awal untuk memeriksa lokasi dan cara pakai alat bantu keselamatan kerja. Selanjutnya asisten harus mengetahui jenis bahan kimia dan peralatan yang akan digunakan pada percobaan hari tersebut dan cara menanggulangi bila terjadi kecelakaan karena bahan atau peralatan tersebut. Disini kehadiran asisten mendampingi mahasiswa yang sedang bekerja merupakan tugas mulia dalam menjaga keselamatan kerja. Pada akhir praktikum, biasakanlah menutup kran air dan gas, mematikan listrik dan api serta mencuci tangan dan meninggalkan laboratorium dalam keadaan bersih. Ini dilakukan oleh asisten agar menjadi panutan bagi mahasiswa. Masih banyak hal penting yang belum diungkapkan, untuk itu disarankan agar asisten berkomunikasi dengan ketua laboratoriumnya masing-masing dalam meningkatkan kewaspadaan kerja di laboratorium. Mudah-mudahan pengetahun singkat ini bermanfaat bagi setiap individu khususnya bagi para asisten yang bertugas membimbing mahasiswa melakukan praktikum, dan seluruh civitas departemen Kimia FMIPA-ITB agar semua dapat menikmati keselamatan, keamanan dan kenyamanan kerja di laboratorium dan ini mendukung tercapainya tujuan pendidikan secara memuaskan.

PP 19/1973, PENGATURAN DAN PENGAWASAN KESELAMATAN KERJA DIBIDANG PERTAMBANGAN

Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Nomor:19 TAHUN 173 (19/1973)

Tanggal:14 APRIL 1973 (JAKARTA)

Kembali ke Daftar Isi


Tentang:PENGATURAN DAN PENGAWASAN KESELAMATAN KERJA DIBIDANG PERTAMBANGAN

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a.bahwa bidang pertambangan mempunyai fungsi yang penting dalam pembangunan ekonomi nasional dan pertahanan negara, sehingga perlu diadakan pengaturan lebih lanjut tentang pengawasan keselamatan kerja dibidang pertambangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967;


b.bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 mengatur keselamatan kerja secara umum termasuk bidang pertambangan yang menjadi tugas dan tanggung-jawab Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi;


c.bahwa untuk memperlancar pelaksanaan usaha-usaha pertambangan yang merupakan proses yang terus menerus, membutuhkan peralatan yang khusus dan menghadapi kemungkinan bahaya yang mempunyai tingkat berulangnya kecelakaan membawa korban manusia dan tingkat kengerian kecelakaan yang begitu besar dan khas, dianggap perlu untuk mengadakan penyelenggaraan pengawasan keselamatan kerja yang lebih effisien dan effektief;


d.bahwa Departemen Pertambangan telah mempunyai personil dan peralatan yang khusus untuk menyelenggarakan pengawasan keselamatan kerja dibidang pertambangan;


e.bahwa karenanya perlu diadakan ketentuan tentang pengaturan, dan pengawasan keselamatan kerja dibidang pertambangan antara Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi dan Menteri Pertambangan;

Mengingat:

1.Pasal 5 ayat (2)Undang-Undang Dasar 1945;

2.Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 133; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2070);

3.Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara *18190 Republik Indonesia Nomor 2831);

4.Undang-undang Nomor 14 Tahun 1969 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 55);

5.Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918);

6.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2916);

7.Mijn Politie Reglement (Staatsblad 1930 Nomor 341);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN KESELAMATAN KERJA DIBIDANG PERTAMBANGAN.

Pasal 1

Peraturan keselamatan kerja dibidang pertambangan bermaksud dalam Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969, dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 dilakukan oleh Menteri Pertambangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi.

Pasal 2

Menteri Pertambangan melakukan pengawasan atas keselamatan kerja dalam bidang Pertambangan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.

Pasal 3

(1).Untuk pengawasan keselamatan kerja dibidang pertambangan Menteri Pertambangan mengangkat pejabat-pejabat yang akan melakukan tugas tersebut setelah mendengar pertimbangan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi;

(2).Pejabat-pejabat termaksud pada ayat (1) Pasal ini dalam melaksanakan tugasnya mengadakan kerjasama dengan Pejabat-pejabat Keselamatan Kerja Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi baik di Pusat maupun di Daerah.

Pasal 4

Menteri Pertambangan memberikan laporan secara berkala kepada Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi mengenai pelaksanaan pengawasan termaksud dalam Pasal 1, 2 dan 3 Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 5

Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi pengaturan dan *18191 pengawasan terhadap Ketel Uap sebagaimana termaksud dalam Stoom Ordonnantie 1930 (Stbl. 1930 Nomor 225).

Pasal 6

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 14 April 1973 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO JENDERAL TNI.

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 April 1973 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, SH. MAYOR JENDERAL TNI.

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1973

TENTANG

PENGATURAN DAN PENGAWASAN KESELAMATAN KERJA DIBIDANG PERTAMBANGAN


landasan hukum k3

LANDASAN HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN PEGAWASAN KESEHATAN KERJA

Undang-undang No. 13 tahun 2003
Undang-undang No. 3 tahun 1951
Undang-undang No. 21 Tahun 2003
Undang-undang No. 1 tahun 1970
Undang-undang No. 3 tahun 1992
Undang-undang No. 32 tahun 2004, Jo. PP No. 25 Tahun 2000
Kepmendagri No. 130-67 Tahun 2002

Ruang Lingkup Kesehatan Kerja (Obyek Pengawasan)

Pelayanan Kesehatan Kerja, SDM bidang kesehatan kerja,, Kelembagaan bidang kesehatan kerja, Ergonomi kerja, P3K di tempat kerja, Pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, Penyakit Akibat Kerja (PAK), Penyelenggaraan makanan bagi tenaga kerja/Gizi kerja, Higiene industri, Toksikologi industri, Psikologi kerja, Emergency respon di tempat kerja

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan:

Pasal 86

(1) Setiap pekerja / buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :

  • Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
  • Moral dan Kesusilaan
  • Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan Pasal 86 :

Upaya keselamatan dan kesehatan kerja dimaksudkan untuk memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.

Pasal 87

(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Undang-undang No. 3 Tahun 1951 Tentang Pernyataan Berlakunya UU Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Dari RI Untuk seluruh Indonesia.
Pengawasan perburuhan antara lain diadakan guna mengawasi berlakunya UU dan Peraturan Perundangan Perburuhan pada khususnya.

Menteri yang diserahi urusan perburuhan atau pegawai yang ditunjuk olehnya akan menetapkan pegawai-pegawai mana yang diberi kewajiban untuk menjalankan pengawasan perburuhan.

UU No. 21 tahun 2003 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO No. 81 mengenai Pengawasan Ketenagakerjaan Di Industri dan Perdagangan)

  • Sistem pengawasan ketenagakerjaan harus diterapkan di semua tempat kerja berdasarkan perundang-undangan.
  • Sistem pengawasannya dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan

Undang-undang No. 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan kerja :

  • Syarat-syarat Keselamatan Kerja berisi lebih dari 50% syarat-syarat Kesehatan Kerja. Dirjen Binwasnaker melakukan pengawasan umum terhadap UU ini. Pegawai Pengawas dan Ahli K3 ditugaskan menjalankan pengawasan Langsung thd ditaatinya UU ini dan membantu pelaksanaannya.
  • Pemeriksaan Kesehatan TK dilakukan oleh Dokter yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi khusus (dokter pemeriksa kesehatan tenaga kerja).
  • Kebijakan Nasional menjadi tanggung jawab Menteri Tenaga Kerja shg terjamin pelaksanaannya secara seragam dan serasi bagi seluruh Indonesia.

PP. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom.
Kewenangan Pemerintah di bidang Ketenagakerjaan adalah seperti pada Pasal 2 ayat 3 yaitu :

  • Penetapan kebijakan hubungan industrial, perlindungan pekerja dan jamsos pekerja.
  • Penetapan standar keselamatan kerja, kesehatan kerja, hygiene perusahaan, lingkungan kerja dan ergonomi.
  • Penetapan pedoman Penentuan kebutuhan fisik minimum.

  • Kepmendagri No. 130-67 tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota:

Kewenangan Bidang Ketenagakerjaan khususnya perlindungan tenaga kerja :

  1. Bimbingan pencegahan kecelakaan kerja
  2. Bimbingan kesehatan kerja
  3. Bimbingan pembentukan P2K3
  4. Pengawasan Norma Keselamatan dan Kesehatan Kerja
  5. Pemeriksaan Kecelakaan kerja
  6. Pemberdayaan pelaksanaan kegiatan Ahli K3
  7. Pemberdayaan pelaksaan kegiatan PJK3
  8. Pelaksanaan Penerapan SMK3
  9. Pemberian ijin Pengesahan Sertifikat K3
  10. Penyidikan Pelanggaran Norma K3
9 dari 9
Bibliografi



Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: Per 04/Men/1987 tentang Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan kerja.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 155/MEN/1984, tentang Penyempurnaan
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP. 125/MEN/1982 tentang
Pembentukan, Susunan dan Tata Kerja Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja nasional,
Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Daerah, Dewan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja Wilayah dan P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja).
Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No. 2 tahun 1970 tentang Pembentukan

Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja di tempat kerja
.
Departemen Tenaga Kerja, Badan Perencanaan dan Pengembangan Tenaga Kerja, Pusat
Hiperkes dan Keselamatan Kerja tentang kurikulum pelatihan Hiperkes dan Keselamatan
Kerja Teknisi di perusahaan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 74 TAHUN 2001

TENTANG

PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang

:

  1. bahwa dengan meningkatnya kegiatan pembangunan di berbagai bidang terutama bidang industri dan perdagangan, terdapat kecenderungan semakin meningkat pula penggunaan bahan berbahaya dan beracun;

  2. bahwa sampai saat ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, akan tetapi masih belum cukup memadai terutama untuk mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup;

  3. bahwa untuk mencegah terjadinya dampak yang dapat merusak lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya diperlukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun secara terpadu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun;

Mengingat

:

    1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;

    2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);

    3. Undang- undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);

    4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);

    5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);

    6. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);

    7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

    8. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

    9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 12);

    10. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3815) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910) ;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan

:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

      1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disingkat dengan B3 adalah bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya;

      2. Pengelolaan B3 adalah kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan atau membuang B3;

      3. Registrasi B3 adalah pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3 yang ada di wilayah Republik Indonesia;

      4. Penyimpanan B3 adalah teknik kegiatan penempatan B3 untuk menjaga kualitas dan kuantitas B3 dan atau mencegah dampak negatif B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya;

      5. Pengemasan B3 adalah kegiatan mengemas, mengisi atau memasukkan B3 ke dalam suatu wadah dan atau kemasan, menutup dan atau menyegelnya;

      6. Simbol B3 adalah gambar yang menunjukkan klasifikasi B3;

      7. Label adalah uraian singkat yang menunjukkan antara lain klasifikasi dan jenis B3;

      8. Pengangkutan B3 adalah kegiatan pemindahan B3 dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan sarana angkutan;

      9. B3 terbatas dipergunakan adalah B3 yang dibatasi penggunaan, impor dan atau produksinya;

      10. B3 yang dilarang dipergunakan adalah jenis B3 yang dilarang digunakan, diproduksi, diedarkan dan atau diimpor;

      11. Impor B3 adalah kegiatan memasukkan B3 ke dalam daerah kepabeanan Indonesia;

      12. Ekspor B3 adalah kegiatan mengeluarkan B3 dari daerah kepabeanan Indonesia;

      13. Notifikasi untuk ekspor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara pengekspor ke otoritas negara penerima dan negara transit apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas batas B3 yang terbatas dipergunakan;

      14. Notifikasi untuk impor adalah pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas negara pengekspor apabila akan dilaksanakan perpindahan lintas batas untuk B3 yang terbatas dipergunakan dan atau yang pertama kali diimpor;

      15. Orang adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;

      16. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;

      17. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang dalam memberikan izin, pengawasan dan hal lain yang sesuai dengan bidangnya masing-masing;

      18. Komisi B3 adalah badan independen yang berfungsi memberikan saran dan atau pertimbangan kepada Pemerintah dalam pengelolaan B3 di Indonesia;

      19. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;

      20. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota;

      21. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup.


Pasal 2


Pengaturan pengelolaan B3 bertujuan untuk mencegah dan atau mengurangi risiko dampak B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya.


Pasal 3


Pengelolaan B3 yang tidak termasuk dalam lingkup Peraturan Pemerintah ini adalah pengelolaan bahan radioaktif, bahan peledak, hasil produksi tambang serta minyak dan gas bumi dan hasil olahannya, makanan dan minuman serta bahan tambahan makanan lainnya, perbekalan kesehatan rumah tangga dan kosmetika, bahan sediaan farmasi, narkotika, psikotropika, dan prekursornya serta zat adiktif lainnya, senjata kimia dan senjata biologi.


Pasal 4


Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.


BAB II

KLASIFIKASI B3

Pasal 5


  1. B3 dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

    1. mudah meledak (explosive);

    2. pengoksidasi (oxidizing);

    3. sangat mudah sekali menyala (extremely flammable);

    4. sangat mudah menyala (highly flammable);

    5. mudah menyala (flammable);

    6. amat sangat beracun (extremely toxic);

    7. sangat beracun (highly toxic);

    8. beracun (moderately toxic);

    9. berbahaya (harmful);

    10. korosif (corrosive);

    11. bersifat iritasi (irritant);

    12. berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment);

    13. karsinogenik (carcinogenic);

    14. teratogenik (teratogenic);

    15. mutagenik (mutagenic).

  2. Klasifikasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari :

    1. B3 yang dapat dipergunakan;

    2. B3 yang dilarang dipergunakan; dan

    3. B3 yang terbatas dipergunakan.

  3. B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.


BAB III

TATA LAKSANA DAN PENGELOLAAN B3

Pasal 6


  1. Setiap B3 wajib diregistrasikan oleh penghasil dan atau pengimpor.

  2. Kewajiban registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku 1 (satu) kali untuk B3 yang dihasilkan dan atau diimpor untuk yang pertama kali.

  3. Registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :

    1. termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

    2. tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 3, diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab.

  4. Instansi yang berwenang yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a menyampaikan tembusannya kepada instansi yang bertanggung jawab.

  5. Instansi yang bertanggung jawab yang memberikan nomor registrasi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b menyampaikan tembusannya kepada instansi yang berwenang.

  6. Tata cara registrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan sistem registrasi nasional B3 ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.


Pasal 7


  1. Setiap orang yang melakukan kegiatan ekspor B3 yang terbatas dipergunakan, wajib menyampaikan notifikasi ke otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab.

  2. Ekspor B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilaksanakan setelah adanya persetujuan dari otoritas negara tujuan ekspor, otoritas negara transit dan instansi yang bertanggung jawab.

  3. Persetujuan dari instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan dasar untuk penerbitan atau penolakan izin ekspor dari instansi yang berwenang di bidang perdagangan.


Pasal 8


  1. Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang terbatas dipergunakan dan atau yang pertama kali diimpor, wajib mengikuti prosedur notifikasi.

  2. Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disampaikan oleh otoritas negara pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.

  3. Instansi yang bertanggung jawab wajib memberikan jawaban atas notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan notifikasi.


Pasal 9


  1. Setiap orang yang melakukan kegiatan impor B3 yang baru yang tidak termasuk dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), wajib mengikuti prosedur notifikasi.

  2. Notifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib disampaikan oleh otoritas negara pengekspor kepada instansi yang bertanggung jawab.

  3. Instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) segera memberitahukan kepada Komisi B3 untuk meminta saran dan atau pertimbangan Komisi B3.

  4. Komisi B3 memberikan saran dan atau pertimbangan kepada instansi yang bertanggung jawab mengenai B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

  5. Berdasarkan saran dan atau pertimbangan yang diberikan oleh Komisi B3 kepada instansi yang bertanggung jawab, maka instansi yang bertanggung jawab:

    1. mengajukan perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini; dan

    2. memberikan persetujuan kepada instansi yang berwenang di bidang perdagangan sebagai dasar untuk penerbitan atau penolakan izin impor.


Pasal 10


Tata cara notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.


Pasal 11


Setiap orang yang memproduksi B3 wajib membuat Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet).

Pasal 12


Setiap penanggung jawab pengangkutan, penyimpanan, dan pengedaran B3 wajib menyertakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.


Pasal 13


  1. Pengangkutan B3 wajib menggunakan sarana pengangkutan yang laik operasi serta pelaksanaannya sesuai dengan tata cara pengangkutan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  2. Persyaratan sarana pengangkutan dan tata cara pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang transportasi.


Pasal 14


Setiap B3 yang dihasilkan, diangkut, diedarkan, disimpan wajib dikemas sesuai dengan klasifikasinya.


Pasal 15


  1. Setiap kemasan B3 wajib diberikan simbol dan label serta dilengkapi dengan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet).

  2. Tata cara pengemasan, pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.


Pasal 16


  1. Dalam hal kemasan B3 mengalami kerusakan untuk :

  1. B3 yang masih dapat dikemas ulang, pengemasannya wajib dilakukan oleh pengedar;

  2. B3 yang tidak dapat dikemas ulang dan dapat menimbulkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan dan atau keselamatan manusia, maka pengedar wajib melakukan penanggulangannya.

  1. B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b, ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.

  2. Dalam hal Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) belum tersedia, maka tata cara penanganan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengacu kepada kaidah ilmiah yang berlaku.


Pasal 17

    1. Dalam hal simbol dan label mengalami kerusakan wajib diberikan simbol dan label yang baru.

    2. Tanggung jawab pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kerusakan pada tahap:

      1. produksi, tanggung jawabnya ada pada produsen/penghasil;

      2. pengangkutan, tanggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan pengangkutan;

      3. penyimpanan, tangggung jawabnya ada pada penanggung jawab kegiatan penyimpanan.

    3. Tata cara pemberian simbol dan label sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.


Pasal 18


    1. Setiap tempat penyimpanan B3 wajib diberikan simbol dan label.

    2. Tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi persyaratan untuk :

      1. lokasi;

      2. konstruksi bangunan.

    1. Kriteria persyaratan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.


Pasal 19


Pengelolaan tempat penyimpanan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib dilengkapi dengan sistem tanggap darurat dan prosedur penanganan B3.

Pasal 20


B3 yang kadaluarsa dan atau tidak memenuhi spesifikasi dan atau bekas kemasan, wajib dikelola sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.


BAB IV

KOMISI B3

Pasal 21


  1. Dalam rangka pengelolaan B3 dibentuk Komisi B3 yang mempunyai tugas untuk memberikan saran dan atau pertimbangan kepada Pemerintah.

  2. Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat terdiri dari beberapa Sub Komisi B3.

  3. Susunan keanggotaan Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari wakil instansi yang berwenang, wakil instansi yang bertanggung jawab, wakil instansi yang terkait, wakil perguruan tinggi, organisasi lingkungan, dan asosiasi.

  4. Susunan keanggotaan, tugas, fungsi, dan tata kerja Komisi B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.


BAB V

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Pasal 22


  1. Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menjaga keselamatan dan kesehatan kerja.

  2. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  3. Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab kegiatan pengelolaan B3 wajib mengikutsertakan peranan tenaga kerjanya.

  4. Peranan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 23

  1. Untuk menjaga keselamatan dan kesehatan pekerja dan pengawas B3 wajib dilakukan uji kesehatan secara berkala.

  2. Uji kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan oleh masing-masing instansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB VI

PENANGGULANGAN KECELAKAAN DAN

KEADAAN DARURAT

Pasal 24


Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menanggulangi terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat.


Pasal 25


Dalam hal terjadi kecelakaan dan atau keadaan darurat yang diakibatkan B3, maka setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 wajib mengambil langkah-langkah :

  1. mengamankan (mengisolasi) tempat terjadinya kecelakaan;

  2. menanggulangi kecelakaan sesuai dengan prosedur tetap penanggulangan kecelakaan;

  3. melaporkan kecelakaan dan atau keadaan darurat kepada aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat; dan

  4. memberikan informasi, bantuan, dan melakukan evakuasi terhadap masyarakat di sekitar lokasi kejadian.


Pasal 26


Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat, setelah menerima laporan tentang terjadinya kecelakaan dan atau keadaan darurat akibat B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, wajib segera mengambil langkah-langkah penanggulangan yang diperlukan.


Pasal 27


Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, tidak menghilangkan kewajiban setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 untuk :

  1. mengganti kerugian akibat kecelakaan dan atau keadaan darurat; dan atau

  2. memulihkan kondisi lingkungan hidup yang rusak atau tercemar;

  3. yang diakibatkan oleh B3.

BAB VII

PENGAWASAN DAN PELAPORAN

Pasal 28


  1. Wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.

  2. Dalam hal tertentu, wewenang pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diserahkan menjadi urusan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota.

  3. Penyerahan wewenang pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab dan atau instansi yang berwenang di bidang tugasnya masing-masing.


Pasal 29


Pengawas dalam melaksanakan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib dilengkapi tanda pengenal dan surat tugas yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.



Pasal 30


Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib:

  1. mengizinkan pengawas untuk memasuki lokasi kerja dan membantu terlaksananya tugas pengawasan;

  2. mengizinkan pengawas untuk mengambil contoh B3;

  3. memberikan keterangan dengan benar baik lisan maupun tertulis;

  4. mengizinkan pengawas untuk melakukan pemotretan di lokasi kerja dan atau mengambil gambar.


Pasal 31


Setiap orang yang melakukan kegiatan pengelolaan B3 wajib menyampaikan laporan tertulis tentang pengelolaan B3 secara berkala sekurang-kurangnya setiap 6 (enam) bulan kepada instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang berwenang di bidang tugas masing-masing dengan tembusan kepada Gubernur/Bupati/ Walikota.


BAB VIII

PENINGKATAN KESADARAN MASYARAKAT


Pasal 32


Gubernur/Bupati/Walikota/Kepala Instansi yang bertanggung jawab dan Pimpinan instansi yang berwenang, dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dampak yang akan timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya akibat adanya kegiatan pengelolaan B3.


Pasal 33


Setiap orang yang melakukan pengelolaan B3 wajib meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi dampak B3 yang akan timbul terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya akibat adanya kegiatan pengelolaan B3.


Pasal 34


Peningkatan kesadaran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan Pasal 33 dapat dilakukan dengan penyebarluasan pemahaman tentang B3.


BAB IX

KETERBUKAAN INFORMASI DAN

PERAN MASYARAKAT


Pasal 35


  1. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang upaya pengendalian dampak lingkungan hidup akibat kegiatan pengelolaan B3.

  2. Informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib disediakan oleh penanggung jawab kegiatan pengelolaan B3.

  3. Penyediaan informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat disampaikan melalui media cetak, media elektronik dan atau papan pengumuman.


Pasal 36


Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan B3 sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB X

PEMBIAYAAN


Pasal 37


Biaya untuk melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam :

  1. Pasal 6 ayat (6), Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 21 ayat (4), Pasal 22 ayat (4), Pasal 23 ayat (2), Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 32, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

  2. Pasal 26, Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 32 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB XI

SANKSI ADMINISTRASI


Pasal 38


  1. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, dan Pasal 35 dikenakan sanksi administrasi.

  2. Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan berdasarkan berat dan ringannya jenis pelanggaran sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB XII

GANTI KERUGIAN

Pasal 39


  1. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.

  2. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini :

    1. adanya bencana alam atau peperangan; atau

    2. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau

    3. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.

  1. (3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggung jawab membayar ganti kerugian.


BAB XIII

KETENTUAN PIDANA


Pasal 40


Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2),

Pasal 19, Pasal 20, Pasal 22, dan Pasal 24 yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.


BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 41


Apabila pada saat diundangkan Peraturan Pemerintah ini :

  1. masih terdapat B3 yang dilarang dipergunakan di Indonesia, maka B3 tersebut dapat diekspor ke negara yang memerlukannya sesuai dengan mekanisme ekspor yang berlaku;

  2. terdapat B3 yang telah beredar tetapi belum diregistrasikan maka wajib diregistrasikan oleh penyimpan, pengedar dan atau pengguna menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).


Pasal 42


Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan B3 yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.


BAB XV

KETENTUAN PENUTUP

P

asal 43


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku 6 (enam) bulan sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 26 November 2001


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 26 November 2001

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG KESOWO




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 138


PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 74 TAHUN 2001

TENTANG

PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN


UMUM

Meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia dapat mendorong peningkatan penggunaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di berbagai sektor seperti industri, pertambangan, pertanian dan kesehatan. B3 tersebut dapat berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). B3 yang dihasilkan dari dalam negeri, juga ada yang diekspor ke suatu negara tertentu. Proses impor dan ekspor ini semakin mudah untuk dilakukan dengan masuknya era globalisasi.

Selama tiga dekade terakhir, penggunaan dan jumlah B3 di Indonesia semakin meningkat. Penggunaan B3 yang terus meningkat dan tersebar luas di semua sektor apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan lingkungan hidup, seperti pencemaran udara, pencemaran tanah, pencemaran air, dan pencemaran laut. Agar pengelolaan B3 tidak mencemari lingkungan hidup dan untuk mencapai derajat keamanan yang tinggi, dengan berpijak pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kualitas hidup manusia, maka diperlukan peningkatan upaya pengelolaannya dengan lebih baik dan terpadu.

Kebijaksanaan pengelolaan B3 yang ada saat ini masih diselenggarakan secara parsial oleh berbagai instansi terkait, sehingga dalam penerapannya masih banyak menemukan kendala. Oleh karena itu, maka semakin disadari perlunya Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan B3 secara terpadu yang meliputi kegiatan produksi, penyimpanan, pengemasan, pemberian simbol dan label, pengangkutan, penggunaan, impor, ekspor dan pembuangannya. Pentingnya penyusunan Peraturan Pemerintah ini secara tegas juga disebutkan dalam Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan dan sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1

Cukup jelas

Angka2

Cukup jelas

Angka 3

Registrasi bertujuan untuk mengetahui jumlah B3 yang beredar di Indonesia agar dapat dilakukan pengawasan dari awal sehingga dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Registrasi merupakan langkah awal dalam pengelolaan B3.

Angka 4

Cukup jelas

Angka 5

Cukup jelas

Angka 6

Contoh B3 yang mudah terbakar dengan simbol api.

Angka 7

Label misalnya tulisan mudah meledak dan mudah terbakar.

Angka 8

Cukup jelas

Angka 9

Cukup jelas

Angka 10

Cukup jelas

Angka 11

Cukup jelas

Angka 12

Cukup jelas

Angka 13

Cukup jelas

Angka 14

Cukup jelas

Angka 15

Cukup jelas

Angka 16

Cukup jelas

Angka 17

Cukup jelas

Angka 18

Cukup jelas

Angka 19

Cukup jelas

Angka 20

Cukup jelas

Angka 21

Cukup jelas

Pasal 2

Cukup jelas

Pasal 3

Cukup jelas

Pasal 4

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Untuk dapat mengelola B3 dengan baik dan benar maka perlu diketahui klasifikasi B3 tersebut. Penjelasan klasifikasi dimaksud sebagai berikut :

  1. Mudah meledak (explosive), adalah bahan yang pada suhu dan tekanan standar (250C, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Pengujiannya dapat dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorymetry (DSC) atau Differential Thermal Analysis (DTA), 2,4-dinitrotoluena atau Dibenzoil-peroksida sebagai senyawa acuan. Dari hasil pengujian tersebut akan diperoleh nilai temperatur pemanasan. Apabila nilai temperatur pemanasan suatu bahan lebih besar dari senyawa acuan, maka bahan tersebut diklasifikasikan mudah meledak.

  2. Pengoksidasi (oxidizing)

Pengujian bahan padat yang termasuk dalam kriteria B3 pengoksidasi dapat dilakukan dengan metoda uji pembakaran menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedangkan untuk bahan berupa cairan, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat. Dengan pengujian tersebut, suatu bahan dinyatakan sebagai B3 pengoksidasi apabila waktu pembakaran bahan tersebut sama atau lebih pendek dari waktu pembakaran senyawa standar.

  1. Sangat mudah sekali menyala (extremely flammable) adalah B3 baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala dibawah 0 0C dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35 0C.

  2. Sangat mudah menyala (highly flammable) adalah B3 baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala 00C - 210C.

  3. Mudah menyala (flammable) mempunyai salah satu sifat sebagai berikut :

    1. Berupa cairan

Bahan berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24% volume dan atau pada titik nyala (flash point) tidak lebih dari 600C (1400 F) akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg. Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode Closed-Up Test.

    1. Berupa padatan

B3 yang bukan berupa cairan, pada temperatur dan tekanan standar (250C, 760 mmHg) dengan mudah menyebabkan terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus menerus dalam 10 detik. Selain itu, suatu bahan padatan diklasifikasikan B3 mudah terbakar apabila dalam pengujian dengan metode Seta Closed-Cup Flash Point Test diperoleh titik nyala kurang dari 400C.

  1. Cukup jelas

  2. Cukup jelas

  3. Beracun (moderately toxic)

B3 yang bersifat racun bagi manusia akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.

Tingkatan racun B3 dikelompokkan sebagai berikut :

Urutan

Kelompok

LD50 (mg/kg)

1

2

3

4

5

6

Amat sangat beracun (extremely toxic)

Sangat beracun (highly toxic)

Beracun (moderately toxic)

Agak beracun (slightly toxic)

Praktis tidak beracun (practically non-toxic)

Relatif tidak berbahaya (relatively harmless)

< 1

1 – 50

51 – 500

501 – 5.000

5001 - 15.000

> 15.000


  1. Berbahaya (harmful) adalah bahan baik padatan maupun cairan ataupun gas yang jika terjadi kontak atau melalui inhalasi ataupun oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan sampai tingkat tertentu.

  2. Korosif (corrosive)

B3 yang bersifat korosif mempunyai sifat antara lain :

      1. Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit;

      2. Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja SAE 1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55 0C;

      3. Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk B3 bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.

  1. Bersifat iritasi (irritant)

Bahan baik padatan maupun cairan yang jika terjadi kontak secara langsung, dan apabila kontak tersebut terus menerus dengan kulit atau selaput lendir dapat menyebabkan peradangan.

  1. Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment)

Bahaya yang ditimbulkan oleh suatu bahan seperti merusak lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan (misalnya PCBs), atau bahan tersebut dapat merusak lingkungan.

  1. Karsinogenik (carcinogenic) adalah sifat bahan penyebab sel kanker, yakni sel liar yang dapat merusak jaringan tubuh.

  2. Teratogenik (teratogenic) adalah sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio.

  3. Mutagenik (mutagenic) adalah sifat bahan yang menyebabkan perubahan kromosom yang berarti dapat merubah genetika.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Registrasi B3 dapat dilakukan dengan cara, antara lain, melalui surat menyurat atau pun melalui e-mail.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah, antara lain, untuk hasil produksi tambang, minyak dan gas bumi, serta hasil olahannya diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang energi dan sumber daya mineral.

Huruf b

Cukup jelas

Ayat (4)

Penyampaian tembusan kepada instansi yang bertanggung jawab dimaksudkan sebagai wujud koordinasi agar impor dan peredaran B3 dapat diketahui oleh instansi yang bertanggung jawab.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Dalam penetapan sistem registrasi nasional, instansi yang bertanggung jawab akan membuat pedoman tentang tata cara registrasi yang antara lain memuat sistem registrasi, muatan data yang perlu disampaikan oleh penghasil dan atau pengimpor kepada instansi yang bertanggung jawab tentang pembuatan nomor registrasi.

Pemberian nomor registrasi tersebut diperlukan sebagai alat kontrol terhadap peredaran B3 di Indonesia, sehingga dapat dengan mudah dilakukan pengawasan dan pencegahan terjadinya dampak B3 terhadap lingkungan hidup.

Pasal 7

Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Otoritas negara pengekspor adalah instansi yang berwenang di bidang lingkungan hidup dari negara pengekspor.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

B3 baru adalah B3 yang baru pertama kali diimpor dan belum termasuk dalam daftar B3 sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Huruf a

Perubahan lampiran Peraturan Pemerintah ini dilakukan dalam waktu tertentu.

Huruf b

Berdasarkan ketentuan internasional, instansi yang berwenang dalam memberikan notifikasi B3 adalah instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan kewenangan menerbitkan izin impor merupakan kewenangan instansi yang berwenang di bidang perdagangan. Oleh karena itu, notifikasi tersebut perlu diteruskan ke instansi tersebut untuk penerbitan atau penolakan izin impor.

Penerbitan izin tersebut diberikan setelah perubahan terhadap lampiran Peraturan Pemerintah ini selesai dilakukan.

Pasal 10

Cukup jelas

Pasal 11

Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) berisi :

  1. merek dagang;

  2. rumus kimia B3;

  3. jenis B3;

  4. klasifikasi B3;

  5. teknik penyimpanan; dan

  6. tata cara penanganan bila terjadi kecelakaan.


Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)

Kemasan adalah tempat atau wadah untuk menyimpan, mengangkut dan mengedarkan B3.

Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) dapat diperbanyak dengan cara menggandakan Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet) sesuai dengan kebutuhan.

Pemberian simbol dan label pada setiap kemasan B3 adalah untuk mengetahui klasifikasi B3 sehingga pengelolaannya dapat dilakukan dengan baik guna mengurangi risiko yang dapat ditimbulkan dari B3.

Ayat (2)

Ketentuan tentang cara pengemasan, pemberian simbol dan label yang akan ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Pengertian B3 yang dimaksud meliputi B3 yang masih dapat dikemas ulang dan B3 yang tidak dapat dikemas ulang.

Ayat (3)

Kaidah ilmiah yang dimaksud adalah seperti hand book, text book, dan manual.

Pasal 17

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Tempat penyimpanan yang sesuai dengan persyaratan adalah suatu tempat tersendiri yang dirancang sesuai dengan karakteristik B3 yang disimpan

misalnya B3 yang reaktif (reduktor kuat) tidak dapat dicampur dengan asam mineral pengoksidasi karena dapat menimbulkan panas, gas beracun dan api. Juga tempat penyimpanan B3 harus dapat menampung jumlah B3 yang akan disimpan. Misalnya suatu kegiatan industri yang menghasilkan B3 harus menyimpan B3 ditempat penyimpanan B3 yang mempunyai kapasitas yang sesuai dengan B3 yang akan disimpan dan memenuhi persyaratan teknis kesehatan dan perlindungan lingkungan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 19

Sistem tanggap darurat adalah mekanisme atau prosedur untuk menanggulangi terjadinya malapetaka dalam pengelolaan B3 yang memerlukan kecepatan dan ketepatan penanganan, sehingga bahaya yang terjadi dapat ditekan sekecil mungkin.

Pasal 20

B3 kadaluarsa adalah B3 yang karena kesalahan dalam penanganannya (handling) menyebabkan terjadinya perubahan komposisi dan atau karakteristik sehingga B3 tersebut tidak sesuai lagi dengan spesifikasinya. Sedangkan B3 yang tidak memenuhi spesifikasi adalah B3 yang dalam proses produksinya tidak sesuai dengan yang diinginkan/ditentukan.

Pasal 21

Ayat (1)

Pemerintah yang dimaksud adalah instansi yang berwenang di bidangnya seperti perhubungan, pertanian, perindustrian dan perdagangan, energi dan sumber daya mineral, dan kesehatan.

Ayat (2)

Contoh Sub Komisi B3 antara lain Sub Komisi Pestisida.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 23

Ayat (1)

Uji keselamatan dan kesehatan untuk pekerja dan pengawas B3 dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun, dengan maksud untuk mengetahui sedini mungkin terjadinya kontaminasi oleh zat/senyawa kimia B3 terhadap pekerja dan pengawas.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 24

Kecelakaan B3 adalah lepasnya atau tumpahnya B3 ke lingkungan. Untuk mencegah meluasnya dampak B3 tersebut, kecelakaan B3 perlu ditanggulangi dengan cepat dan tepat.

Keadaan darurat adalah eskalasi atau peningkatan kecelakaan B3 sehingga membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif.

Pasal 25

Huruf a

Cukup jelas

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Aparat Pemerintah Kabupaten/Kota setempat antara lain adalah aparat kecamatan dan atau aparat desa/lurah.

Huruf d

Cukup jelas

Pasal 26

Langkah-langkah penanggulangan antara lain dapat berupa instruksi yang diberikan aparat pemerintah daerah kepada masyarakat untuk menghindar dari lokasi kejadian dan menuju ke tempat yang lebih aman.

Pasal 27

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Wewenang pengawasan masih dilakukan oleh Pemerintah Pusat karena pengelolaan B3 banyak berkaitan dengan lintas batas propinsi dan atau lintas batas negara.

Yang dimaksud sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing misalnya di bidang pengangkutan dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perhubungan, dan di bidang lingkungan hidup dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup.

Ayat (2)

Hal tertentu adalah keadaan di mana Pemerintah Daerah sudah mampu melaksanakan pengawasan di bidang pengelolaan B3.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 29

Tanda pengenal dan surat tugas ini penting untuk menghindari adanya petugas-petugas pengawas palsu, atau untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Tanda pengenal minimal memuat nama, nomor induk pegawai, foto yang bersangkutan serta nama instansi pemberi tugas.

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Cukup jelas

Pasal 32

Potensi dampak yang perlu diberitahukan kepada masyarakat bukan hanya dampak negatifnya saja tetapi juga dampak positif dari adanya usaha dan atau kegiatan pengelolaan B3 tersebut.

Pasal 33

Cukup jelas

Pasal 34

Penyebarluasan pemahaman tentang B3 dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan penyuluhan dan pelatihan.

Pasal 35

Ayat (1)

Hak atas informasi tentang kegiatan di bidang pengelolaan B3 merupakan konsekuensi logis dari hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan B3 yang berdasarkan pada azas keterbukaan. Hak atas informasi tersebut akan meningkatkan nilai dan efektifitas peran masyarakat dalam pengelolaan B3, di samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasi-kan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Informasi tersebut dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan B3 yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan pengelolaan B3, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas lingkungan hidup.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 36

Peran dimaksud meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan kebijaksanaan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan B3.

Pasal 37

Sumber dana lain adalah seperti dana lingkungan atau dana bantuan dari organisasi/asosiasi tertentu.

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

Ayat (1)

Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti kerugian yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud tindakan pihak ketiga dalam ayat ini merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang dilakukan Pemerintah.

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

Pasal 43

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4153


KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA R.I

No.KEP.186/MEN/1999

TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN

DITEMPAT KERJA

MENTERI TENAGA KERJA R.I

Minimbang :

  1. bahwa kebakaran di tempat kerja berakibat sangat merugikan baik bagi perusahaan, pekerja maupun kepentingan pembangunan nasional, oleh karena itu perlu ditanggulangi;

  2. bahwa untuk menanggulangi kebakaran di tempat kerja, diperlukan adanya pralatan proteksi kebakaran yang memadahi, petugas penanggulangan yang ditunjuk khusus untuk itu, serta dilaksanakannya prosedur penanggulangan keadaan darurat;

  3. bahwa agar petugas penanggulangan kebakaran di tempat kerja dapat melaksanakan tugasnya secara efektif, perlu diatur ketentuan tentang unit penanggulangan kebakaran di tempat kerja dengan Keputusan Menteri

Mengingat :

  1. Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912

  2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara R.I. Nomor 1, Tambahan Negara Nomor 2918);

  3. Keputusan presiden RI Nomor 122/M/1988 tentang Pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan.

  4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. PER-02/MEN/10\992 tentang Tata Cara Penunjukan, Kewajiban dan Wewenang Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja;

  5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 4/Men/1995 tentang Perusahaan Jasa Keselamatan dan Kesehatan Kerja;

  1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 28/1994 tentang struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Tenaga Kerja;

MEMUTUSKAN

Menetapkan

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA RI TENTANG UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN DI TEMPAT KERJA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan :

  1. Tempat kerja ialah ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya.

  2. Tenaga kerja ialah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun diluar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

  3. Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya pengendalian setiap perwujudan energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran dan sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap darurat untuk memberantas kebakaran.

  4. Unit penanggulangan kebakaran ialah unit kerja yang dibentuk dan ditugasi untuk menangani masalah penganggulangan kebakaran di tempat kerja yang meliputi kegiatan administrasi, identifikasi sumber-sumber bahaya, pemeriksaaan, pemeliharaan dan perbaikan sistem proteksi kebakaran.

  5. Petugas peran penanggulangan kebakaran ialah petugas yang ditunjuk dan diserahi tugas tambahan untuk mengidentifikasi sumber-sumber bahaya dan melaksanakan upaya-upaya penanggulangan kebakaran.

  6. Regu penanggulangan kebakaran ialah Satuan tugas yang mempunyai tugas khusus fungsional di bidang penanggulangan kebakaran.

  7. Ahli Keselamatan Kerja ialah tenaga teknis yang berkeahlian khusus di bidang penanggulangan kebakaran dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.

  8. Pegawai pengawas ialah pegawai teknis berkehalian khusus dari Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.

  9. Pengurus ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung suatu tempat kerja atau bagiannnya yang berdiri sendiri.

  10. Pengusaha ialah:

    1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

    2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

    3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka (1) dan angka (2) yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.

Pasal 2

  1. Pengurus atau Perusahaan wajib mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran, latihan penganggulangan kebakaran di tempat kerja.

  2. Kewajiban mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    1. Pengendalian setiap bentuk energi;

    2. penyediaan sarana deteksi, alarm, memadamkan kebakaran dan sarana evakuasi;

    3. pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;

    4. pembentukan unit penanggulanan kebakaran di tempat kerja

    5. penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;

    6. memilki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan atau tempat yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.

  1. Pengendalian setiap bentuk energi, penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran dan sarana evakuasi serta pengendalian penyebaran asap, panas dan gas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b dan huruf c dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

  1. Buku rencana penanggulangan keadaan darurat kerbakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f, memuat antara lain:

    1. informasi tentang sumber potensi bahaya kebakaran dan cara pencegahannya;

    2. jenis, cara pemeliharaan dan penggunaan sarana proteksi kebakaran di tempat kerja;

    3. prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran;

    4. prosedur pelaksanaan pekerjaan berkaitan dengan pencegahan bahaya kebakaran;

    5. prosedur dalam menghadapi keadaan darurat bahaya kebakaran.

BAB II

PEMBENTUKAN UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN

Pasal 3

Pembentukan unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja dan atau klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran.

Pasal 4

  1. Klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri :

  1. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran ringan;

  2. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang I

  3. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II

  4. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang III dan;

  5. klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran berat.

  1. Jenis tempat kerja menurut klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri ini.

  2. Jenis tempat kerja yang belum termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sendiri oleh Menteri atau pejabat yang di tunjuk.

Pasal 5

Unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:

  1. Petugas peran kebakaran;

  2. Regu penanggulangan kebakaran;

  3. Koordinator unit penanggulangan kebakaran;

  4. Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab teknis.

Pasal 6

  1. Petugas peran kebakaran sebagaimana dimaksud dlam pasal 5 huruf a, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 25 (dua puluh lima) orang.

  2. Regu penanggulangan kebakaran dan ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 hurf b dan huruf d, ditetapkan untuk tempat kerja tingkat resiko bahaya kebakaran ringan dan sedang I yang mempekerjakan tenga kerja 300 (tiga ratus) orang, atau lebih, atau setiap tempat kerja tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II, sedang III dan berat.

  3. Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud pasal 5 juruf c, ditetapkan sebagai berikut :

    1. Untuk tempat kerja tingkat resiko bahaya kebakaran ringan ndan sedang I, sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap jumlah tenaga kerja 100 (seratus) orang.

    2. Untuk tempat kerja tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II dan sedang III dan berat, sekurang-kurangnya 1 (satu) orang untuk setiap unit kerja.

BAB III

TUGAS DAN SYARAT UNIT PENANGGULANGAN KEBAKARAN

Pasal 7

  1. Petugas peran kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a mempunyai tugas:

    1. Mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran;

    2. Memadamkan kebakaran pada tahap awal;

    3. Mengarahkan evakuasi orang dan barang;

    4. Mengadakan koordinasi dengan instasi terkait;

    5. Mengamankan lokasi kebakaran.

  1. Untuk dapat ditunjuk menjadi petugas peran kebakaran harus memenuhi syarat:

    1. sehat jasmani dan rohani;

    2. pendidikan minimal SLTP

    3. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I.

Pasal 8

  1. Regu penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b mempunyai tugas:

    1. mengidentifikasi dan melaporkan tentang adanya faktor yang dapat menimbulkan bahaya kebakaran;

    2. melakukan pemeliharaan sarana proteksi kebakaran;

    3. memberikan penyuluhan tentang penanggulangan kebakaran pada tahap awal;

    4. membantu menyusun buku rencana tanggap darurat kebakaran;

    5. memadamkan kebakaran;

    6. mengarahkan evakuasi orang dan barang;

    7. mengadakan koordinasi dengan instasi terkait;

    8. memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan;

    9. mengamankan lokasi tempat kerja;

    10. melakukan koordinasi seluruh petugas peran kebakaran

  1. Untuk dapat ditunjuk menjadi Regu penanggulangan kebakaran harus memenuhi syarat:

    1. Sehat jasmani dan rohani;

    2. Usia minimal 25 tahun dan maksimal 45 tahun;

    3. Pendidikan minimal SLTA

    4. Telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar II.

Pasal 9

  1. Koordinator unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c mempunyai tugas:

    1. Memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan dari instansi yang berwenang;

    2. Menyusun progarm kerja dan kegiatan tentang cara penanggulangan kebakaran;

    3. Mengusulkan anggaran, sarana dan fasilitas penanggulangan kebakaran kepada pengurus.

  1. Untuk dapat ditunjuk menjadi Regu penanggulangan kebakaran harus memenuhi syarat:

    1. sehat jasmani dan rohani;

    2. pendidikan minimal SLTA

    3. bekerja pada perusahaan yang bersangkutan dengan masa kerja minimal 5 tahun;

    4. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I, tingkat dasar II dan tingkat Ahli K3 Pratama.

Pasal 10

  1. Ahli K3 sebgaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf d mempunyai tugas:

    1. membantu mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang penangggulangan kebakaran

    2. memberikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

    3. merahasiakan segala keterangan tentang rahasia perusahaan atau instansi yang dapat berhubungan dengan jabatannya;

    4. memimpin penanggulangan kebakaran sebelum mendapat bantuan dari instansi yang berwenang;

    5. menyusun program kerja atau kegiatan penanggulangan kebakaran;

    6. melakukan koordianasi dengan instansi yang terkait.

  1. Syarat-syarat ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran adalah:

    1. Sehat jasmani dan rohani;

    2. Pendidikan minimal D3 teknik;

    3. Bekerja pada perusahaan yang bersangkutan dengan masa kerja minimal 5 tahun;

    4. telah mengikuti kursus teknis penanggulangan kebakaran tingkat dasar I, tingkat dasar II dan tingkat Ahli K3 Pratama dan tingkat Ahli Madya.

  1. Dalam melaksanakan tugasnya ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran mempunyai wewenang:

    1. memerintahkan menghentikan dan menolak pelaksanaan pekerjaan yang dapat menimbulkan kebakaran atau peledakan;

    2. meminta keterangan atau informasi mengenai pelaksanaan syarat-syarat K3 dibidang kebakaran di tempat kerja.

Pasal 11

Tata cara penunjukan Ahli K3 sebagaimanan dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf e, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12

Kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2), padal 8 ayat (2), pasal 9 ayat 92), dan pasal 10 ayat (2) harus sesuai kurikulum dan silabi sebagaimanan tercantum dalam lampiran II Keputusan Menteri ini.

Pasal 13

  1. Tenaga kerja yang telah mengikuti kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 berhak mendapat sertifikat.

  2. Serifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanda tangani oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 14

  1. Kursus teknik penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 diselenggarakan oleh Perusahaan Jasa K3 yang telah ditunjuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

  2. Penunjukan perusahaan jasa pembinaan K3 sebagaimana dimaksud pada ayat 91) didasarkan pada kualifikasi tenaga ahli, istruktur dan fasilitas penunjang yang dimilikinya.

BAB IV

PENGAWASAN

Pasal 15

Pegawai pengawas ketenagakerjaan melaksanaakan pengawasan terhadap ditaatinya Keputusan Menteri ini.

BAB V

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 16

Pengurus atau pengusaha yang telah membentuk unit penanggulangan kebakaran sebelum keputusan ini ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Kepurusan Menteri ini.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Ketentuan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

DITETAPKAN DI : JAKARTA

PADA TANGGAL : 29 SEPTEMBER 1999

MENTERI TENAGA KERJA

REPUBLIK INDONESIA